**,“Kami ini bukan pengganggu, kami pekerja. Musik adalah nafkah kami,” kata Otet Adios, salah satu pemilik jasa orgen tunggal, dengan mata berkaca-kaca."**
![]() |
Sejumlah pengusaha jasa orgen mendatangi Polsek Talang Ubi pada Senin (21/7/2025), |
PALI, BARRASUMSEL.Id---Para pelaku usaha hiburan orgen tunggal di Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), sejak Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2025 diberlakukan dilanda keresahan tak berujung.
Sejumlah pengusaha jasa orgen mendatangi Polsek Talang Ubi pada Senin (21/7/2025), membawa suara kegelisahan atas nasib usaha mereka yang kini terancam mati perlahan.
Aturan yang membatasi jam hiburan hingga pukul 17.00 WIB dan melarang musik remix/DJ ini, menurut mereka, bukan hanya soal ketertiban—tapi tentang keberlangsungan hidup.
“Kami ini bukan pengganggu, kami pekerja. Musik adalah nafkah kami,” kata Otet Adios, salah satu pemilik jasa orgen tunggal, dengan mata berkaca-kaca.
Sejak pengetatan aturan tersebut, banyak acara yang biasa berlangsung malam hari terpaksa dibatalkan atau dialihkan ke penyedia hiburan luar daerah yang tidak terikat aturan serupa.
Pendapatan menurun hingga 50 persen. Beberapa alat musik pun kini menganggur. Bahkan, stigma negatif mulai mengintai para pelaku usaha hiburan lokal.
“Kami dilarang main sampai malam, sementara desa sebelah bebas pasang DJ sampai larut. Di mana keadilannya?” tambah Otet, menggambarkan ketimpangan dalam penerapan aturan.
“Jangan hanya buat aturan dari balik meja. Turun ke lapangan, dengar suara kami,” pinta Otet, mewakili keresahan yang tak bisa diputar ulang seperti lagu.
Keresahan serupa diungkapkan Ateng Viona, pengusaha orgen lainnya. Ia menilai, definisi musik remix dalam aturan tersebut masih kabur.
“Kadang cuma lagu dangdut remix dari HP aja dianggap DJ. Padahal kami enggak pakai alat DJ. Tapi tetap dibubarkan, alat disita, acara batal,” keluhnya.
Menurut Ateng, kebingungan ini diperparah dengan minimnya sosialisasi ke masyarakat. Tak jarang pihak tuan rumah tak memahami aturan, sehingga ujung-ujungnya justru menyalahkan penyedia jasa.
Perda No. 1 Tahun 2025 memang bertujuan untuk menjaga ketertiban umum. Namun, para pelaku usaha hiburan berharap ketegasan itu dibarengi pendekatan yang manusiawi dan berkeadilan.“Kami mendukung ketertiban. Tapi jangan sampai aturan ini membunuh ruang hidup kami. Bimbing kami, jangan langsung dibubarkan atau disita,” harap Ateng.
Mereka meminta pemerintah lebih aktif menyosialisasikan aturan, termasuk memberikan ruang untuk berdiskusi dan mencari solusi, seperti skema hiburan malam yang tetap diawasi.
Menanggapi protes itu, Kapolres PALI AKBP Yunar Hotma Sitompul melalui Kapolsek Talang Ubi yang disampaikan KBO Intelkam Polres PALI Iptu Nahjammudin menegaskan bahwa kepolisian hanya bertugas menegakkan hukum.
“Kami hanya melaksanakan amanat Perda. Kami bukan pembuat aturan,” jelasnya.
Namun demikian, ia menegaskan tidak akan ada perlakuan diskriminatif. Setiap pelanggaran akan ditindak, siapa pun pelakunya.
Ia juga mengajak masyarakat dan pelaku usaha hiburan melapor jika ada desa lain yang masih melanggar aturan, agar penegakan hukum bisa berlaku adil.
Lebih lanjut, ia menyarankan agar pengusaha orgen tunggal membentuk organisasi resmi yang terdaftar di Kesbangpol.
“Kalau sudah terorganisir, lebih mudah berdialog. Aspirasi mereka juga lebih kuat secara hukum,” katanya.
Langkah ini, menurutnya, membuka jalan kolaborasi antara pelaku usaha hiburan dengan pihak pemerintah, kepolisian, maupun penegak perda, sehingga tercipta titik temu antara kepentingan ekonomi dan ketertiban umum.
Di tengah ketatnya regulasi, para pelaku usaha hiburan tidak sedang menuntut keleluasaan tanpa batas. Mereka hanya ingin didengar, dibimbing, dan diberi kesempatan untuk tetap hidup dari suara musik.
Musik boleh dibatasi, tapi harapan mereka jangan sampai dibungkam. ((B4RR4/red)